Tulisan ini
diinspirasi dari fenomena yang terjadi saat ini, dimana hampir setiap elemen
mengingatkan tentang peran ayah untuk anak.
Singkatnya setiap ayah mesti membangun kedekatan dengan anak melalui
waktu yang diluangkan (quality time) oleh
ayah , pelukan ayah untuk anak, usaha ayah untuk menjadi sahabat anak, dan berbagai
bentuk pendekatan oleh ayah. Bahwa anak
yang dekat dengan ayahnya akan lebih percaya diri, lebih mandiri dan kelebihan
lainnya yang tidak dimiliki jika anak hanya dekat dengan ibunya.
Hal ini
menjadi menarik jika dihubungkan dengan pengalaman pribadi saya sebagai anak
yang memiliki ayah dan ibu. Berdasarkan pengalaman
pribadi, sejak saya mampu mengingat suatu peristiwa, saya adalah anak yang
tidak pernah dipeluk oleh ayah saya bahkan saya tidak pernah merasakan
digandeng tangan oleh ayah saya ketika berjalan kaki, ayah saya tidak pernah
membacakan buku cerita apa pun kepada saya, ayah saya termasuk jarang mengantar
saya les apalagi ke toko buku, atau juga sekedar memuji saya. Tidak ada istilah liburan bareng ayah, yang
ada adalah ketika ayah kami ke suatu tempat untuk pekerjaan tertentu, maka kami
boleh ikut dan menikmati liburan di tempat tersebut sambil menunggu ayah kami
yang sedang bekerja. Hanya satu yang
saya tahu dan membuat ayah kami berbeda dengan ayah yang lain, bahwa kami
mengetahui semua rahasia ayah saya yang paling baik maupun yang paling
buruk. Saya yakin tidak ada rahasia ayah
pada saya, atau masalah yang tidak diceritakan kepada saya, dan saya dipercaya
penuh untuk itu. Hal paling sering ayah
pesan kepada kami adalah kedepankan logika, dan gunakan perasaan sedikit saja,
itu pun untuk hal berhubungan dengan kebaikan saja.
Kebiasaan
kami adalah diskusi tentang hal-hal yang aneh diperbincangkan antara ayah dan
anak perempuannya, misalnya diskusi tentang perang teluk (1991) sebagai
kebijakan Amerika di Irak pada saat itu dimana saya masih berumur 12 tahun dan
duduk dibangku SMP kelas 2. Atau pun
diskusi tentang kebijakan pemerintah Indonesia tentang pertanian, ekonomi
perbankan dan lain sebagainya, yang membuat saya geleng-geleng kepala jika
melihat hubungan suami saya dengan anak-anaknya sekarang. Bahkan saya tidak pernah curhat tentang teman-teman
saya apalagi teman cowok seperti anak perempuan lainnya yang bisa minta
pertimbangan ayahnya. Pertama kali saya
bercerita tentang teman dekat saya ketika saya dilamar dan memang mesti izin ke
ayah saya. Saya mengingat betapa
bijaknya ayah saya mengambil keputusan ketika itu, padahal ayah tidak mengenal
laki-laki yang datang melamar saya.
Akhirnya saya pun menikah di usia yang cukup muda, 22 tahun dan kuliah
kami pun belum selesai.
Terkadang saya
berpikir, kedekatan apa yang perlu dibangun oleh seorang ayah dengan
anak-anaknya, karena setiap ayah tentu punya cara sendiri-sendiri untuk
berkomunikasi dengan anaknya. Terkadang
ada hal biasa saja bagi kita dan orang lain, namun tidak biasa bagi sebagian
yang lain. Untuk itu, saya mencoba
mencatat, bahwa cinta ayah tidak terukur atau berdampak dari bagaimana mereka
memperlakukan anaknya, namun rasa dan hati seorang ayah yang tulus kepada
anak-anaknya akan membentuk seperti anak tersebut kelak. Ayah punya tugas yang lain, ayah punya metoda
yang lain, ayah punya waktu yang lain, namun ayah punya sejuta kasih untuk
anak-anaknya.
Seperti
itulah ayah membentuk kami, logika yang tinggi, perasaan yang terbatas, namun
saya percaya bahwa hati ayah melebihi dalamnya samudra untuk mengungkap cinta
pada anak-anaknya.